Pengamat Sebut Olahraga Setelah Kerja Jadi Ajang Pembuktian Diri

RADAR JOGJA – Ketua Program Studi (Kaprodi) Sosiologi Universitas Widya Mataram Jogjakarta Mukhijab menyebut, fenomena olahraga usai bekerja merupakan kebutuhan menyangkut tren. Hal ini menjadi ajang pembuktian diri, bahwa keikutsertaan seseorang dalam olahraga agar tidak ketinggalan tren.

“Konteksnya untuk menjaga image bahwa orang itu tidak ketinggalan ‘kereta’ dan dia ingin menunjukkan bahwa ada kesamaan selera,” kata Mukhijab kemarin (26/4).

Lulusan Program Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu melanjutkan, fenomena olahraga setelah pulang kerja sebenarnya sudah biasa. Baik di kota maupun desa.

“Komunitas olahraga juga bisa terbentuk karena mengikuti tren. Pada akhirnya terbangun relasi di zaman sekarang,” ujarnya.

Namun pengamat masalah sosial dan politik Universitas Widya Mataram ini menuturkan, fenomena olahraga setelah jam kerja ada plus minusnya. Sisi positifnya yakni aktif dalam komunitas jejaring sosial. “Memadai untuk kepentingan apapun seperti, bisnis, kerja, hingga pendidikan,” bebernya.

Dia mencontohkan antara atasan dan bawahan. Melalui olahraga bersama, akan ada kedekatan yang berdampak pada relsi kuasa. “Akan menjadi privilege,” lontarnya.

Hanya saja, akan muncul persoalan lain jika relasi kuasa antara atasan dan bawahan hubungannya tidak alami. “Akan teknikal, jadi tidak luwes,” sebutnya. (gun/eno)

https://radarjogja.jawapos.com/lifestyle/654582315/pengamat-sebut-olahraga-setelah-kerja-jadi-ajang-pembuktian-diri

Kasus Perkelahian Berujung Dua Orang MD di Klaten, Polisi Buru Manusia Silver

Sosiolog Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM), Dr. Mukhijab MA menjelaskan, ada sebuah filosofi yang dipopulerkan Thomas Hobbes yang cukup kontekstual dengan apa yang terjadi di Klaten itu.

“Manusia adalah serigala bagi serigala lain atau homo homini lupus. Untuk memenuhi hajat atau kepentingannya, siapapun bisa kalap mata,” ucap Mukhijab kepada Tribun Jogja, Kamis (9/5/2024).

Dia mengungkap, setiap manusia bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia mau, termasuk melenyapkan nyawa atau saling membunuh satu sama lain.

Meski motif kasus di Klaten itu belum terkuak, menurut Mukhijab, kejadian brutal itu bisa saja terjadi karena kebutuhan perut.

“Kaum miskin, seperti pengamen, manusia silver, itu pasti menganggap uang Rp 100 sangat berharga karena bisa menyambung hidup esok hari,” jelasnya.

“Kenapa bisa kejam? Ya ketika sumber daya ekonomi sulit didapat, lalu ada sedikit saja uang pemberian, terus ada rival yang ingin merebut, maka itu jadi ancaman untuk kelanjutan hidupnya. Apapun caranya, harus ditempuh untuk mendapatkan apa yang dianggap haknya,” tutur dia lagi.


Menurut dia, pada tragedi tersebut, ada hukum jalanan yang berlaku. Siapa yang kuat di jalanan, dialah yang hidup.

“Negara sebagai raksasa atau leviathan, yang memiliki sumber daya ekonomi dan kuasa mendistribusikan dan mencegah rebutan atau hukum jalanan, seharusnya hadir di tengah kesulitan orang-orang mendapat akses ekonomi,” jelasnya lagi.

Meski demikian, kata Mukhijab, negara menonton kaum miskin jalanan untuk berebut, bahkan berebut sesuap nasi.

Biasanya, negara hadir setelah tragedi terjadi dengan sikap sosialnya, sumbangan duka cita dan sejenisnya.

“Bisa jadi gak cuma tentang kebutuhan perut saja, misalnya rebutan pacar atau gebetan, tersinggung karena dihina, dirundung, tapi aspek demikian, bisa dikendalikan, tidak terbatas pukul atau parang, atau alat lain, kalau perut mereka kenyang. Ketika kenyang, emosi bisa dikendalikan, ketika perut lapar, sulit untuk mengendalikan diri,” tukasnya. (Tribunjogja.com/Drm/Ard)



Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Kasus Perkelahian Berujung Dua Orang MD di Klaten, Polisi Buru Manusia Silver, https://jogja.tribunnews.com/2024/05/10/kasus-perkelahian-berujung-dua-orang-md-di-klaten-polisi-buru-manusia-silver?page=3.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni





Sosialisasi Pemilih Pemula Pemilu 2024 Tergilas Isu Capres

Dr. Mukhijab, MA

“Bagaimana cara memilih calon-calon dalam pemilu?.“

Pertanyaan lugas dan sederhana itu disampaikan oleh dua calon pemilih pemula dalam sesi Sosialisasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 oleh penulis dan kolega dosen dari Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram (UWM), Yogyakarta.

Penanya dua remaja perempuan yang terdaftar sebagai calon pemilih di dua desa Desa Tuksono, Kec. Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, dan Desa Kapanewon Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Mereka sebagai calon pemilih perdana mengaku awam dan galau menghadapi momentum akbar pesta demokrasi 2024.

“Saya mendengar calon yang dipilih tidak hanya satu ya pak. Bagaimana memilih mereka, seperti apa gambarannya,” kata penanya lagi.

Lontaran pertanyaan itu menjadi isyarat bahwa pemilih pemula memerlukan pengetahuan tentang pemilu, dan karena itu penyelenggara pemilu mendesak untuk sosialisasi.

Lima bulan menjelang pemilu serempak 2024, gebyar pemilu masih didominasi oleh intrik-intrik pencalonan presiden-wakil presiden, menggilas sosialiasi teknis pemilihan di kalangan pemilih pemula. Isu-isu teknis pemilihan sepertinya soal sepele tetapi substansial seperti bagaimana pemilih pemula mendapat informasi lengkap dan terukur soal pemilu lepas perhatian dari stakeholders pesta demokrasi lima tahunan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan apparatus  pelaksana pemilu di bawahnya.

Dari pertanyaan-pertanyaan para peserta sosialisasi, beberapa aspek yang memerlukan penjelasan. Selain jadwal pelaksanaan, deskripsi perihal partai dan calon legislatif (caleg), cara memilih, dan prosedur memilih. Aspek teknik ini terkesan menyederhanakan persoalan pemilu, tetapi kenyataannya dimensi praktis itu menjadi perhatian pemilih pemula melebihi perhatiannya terhadap asas-asas dan aturan pemilu. Mereka fokos bagaimana cara memilih, aturan main pesta politik tidak begitu penting di mata mereka.

Metode sosialisasi pemilu bisa ditempuh secara online dan offline. Desimanasi pemilu secara online menggunakan media sosial (medsos) daring menjadi pilihan logis karena para pemilih pemula hamper seliruhnya mengakses medsos dan media elektronik lain yang berbasis pada internet. Medsos dipadukan dengan media televisi lebih mempertajam sosialisasi.

Dari sosialisasi pemilu di dua desa yang disebut di atas, para pemilih pemula belum fokus untuk mengakses isu-isu pemilu di medsos, media digital, melalui seluler mereka. Selain persoalan politik tidak terlalu menarik generasi Z, alasan yang lebih mendasar soal kapasitas pengetahuan tentang pemilu yang masih minimalis.

Metode offline sebagai bentuk sosialisasi secara konvensional dengan tatap muka. Pengalaman di lapangan menunnjukan, para pemilih pemilu tertarik dengan ornamen-ornamen pemilu yang berwarna dalam bentuk alat peraga. Menurut mereka, penampilan partai dan calegnya, tata cara memilih dengan gambar berwarna terkesan atraktif dan membantu untuk menangkap pesan tentang teknis pemilu.

Sampel kartu pemilih sebagai atribut pemilu yang menarik perhatian para pemilih pemilu. Mereka kaget ketika ditampilkan setiap pemilih harus memegang lima kartu pemilihan, yang terdiri dari calon legislatif kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, calon senator (Dewan Perwakilan Daerah), dan calon presiden-wakil presiden.

“Calon DPR, DPD jumlahnya banyak? Bagaimana saya harus memilih satu dari mereka? Apa memilih partainya boleh atau memilih orangnya, atau partai dan orangnya?,” tanya peserta sosialisasi.

Sebagian besar peserta tidak membayangkan pemilihan calon DPR dan DPD terdapat zonasi sehingga daftar caleg yang dipilih sesuai daerah pemilihan. Pengetahuan ini belum terinstal dalam pemilih pemula.

Desa dan PPS

Ketika proses persiapan sosialisasi, respon desa dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tempat sosialisasi beragam. Dalam proses kerjasama untuk menyelenggarakan kegiatan itu, desa dan PPS A lebih responsif, sebaliknya desa dan PPS B respon lambat (slow respon). Melalui jeda panjang dari awal rencana kerjasama, akhirnya desa B bersedia kerjasama dengan syarat tertentu.

Saat pelaksanaan sosialisasi, desa A melibatkan lurah, PPS dan pengawas, serta jumlah pemilihan pemula peserta sosialisasi pemilu relatif banyak, sementara sosialisasi di desa B melibatkan lurah, dan diikuti segelintir peserta, tanpa kehadiran PPS dan pengawas.

Sosialisasi itu berlangsung dua sesi pada Juli 2024. Para pemilih pemula peserta sosialisasi bersuara senada bahwa mereka belum mendapat kegiatan serupa dari desa dan PPS. Mereka tidak mengetahui apakah desa dan PPS menjadwalkan sosialisasi.

Perangkat dari dua desa menyikapi kondisi tersebut terbelah dua juga. Desa A memandang sosialisasi dari dosen-dosen kampus selayaknya ditindaklanjuti dengan sosialisasi berikutnya oleh PPS dan sosialisasi berbasis pada dusun. Desa B cenderung pasif. Kepala desa mengetahui sosialisasi pemilu tugas PPS, apakah perlu lanjutan sosialisasi, kata kepala desa, bola ada di tangan PPS.

Sikap pasif desa B dikaitkan dengan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki program terstruktur dalam sosialisasi pemilu online. Terdapat kesan, sosialisasi online lebih dari cukup karena para pemilih pemula bisa mengakses melalui perangkat komunikasi pintar yang dimilikinya. Apakah sosialisasi online mengatasi segalanya?

Anggota PPS menyampaikan ke penulis, sosialisasi offline untuk pemilih pemula maupun pemilih lama di dusun-dusun mendesak dilaksanakan karena informasi digital belum tentu sampai ke mereka. Problemnya, tiga petugas PPS terlalu sedikit untuk menjangkau sejumlah dusun. Kalaupun bisa menjangkau semua dukuh, memerlukan waktu dan anggaran yang memadai karena jarak antardusun relatif jauh dan akomodasi untuk peserta sosialisasi diperlukan untuk konsumsi dan uang transport (apabila anggaran PPS memadai).

Tanpa sosialisasi secara menyeluruh, pengetahuan para peserta pemilih pemula dan warga lebih dominan soal capres karena media konvensional, media online dan media sosial lebih banyak mengekspos seputar pencalonan capres, sementara caleg-caleg sangat minim sosialisasi. Inforamsi  soal capres juga mengalahkan informasi tentang teknik pemilihan.

“Ketimpangan informasi” itu menjadi isyarat terdapat problem untuk mencapai proses dan hasil pemilu yang berkualitas.*** Tulisan ini bisa juga dibaca di website Kompas.com

https://regional.kompas.com/read/2023/10/20/14153971/sosialisasi-pemilih-pemula-pemilu-2024-tergilas-isu-capres?page=all

PENINGKATAN KARIR DAN MUTU DOSEN LEWAT STUDI DOKTORAL

Di era globalisasi saat ini, salah satu yang menjadi sorotan adalah berkembangnya karya-karya intelektual dengan disertai tenaga-tenaga ahli yang handal dimana salah satu indikator yang dibutuhkan adalah pendidikan yang terencana dan memadai. Berbicara mengenai perkembangan dunia akademis yang tidak lepas dari peran dosen yang mana fungsi, peran dan kedudukannya sangat strategis dalam kemajuan sebuah institusi pendidikan. Kesuksesan sebuah perguruan tinggi dapat kita perhatikan dari eksistensi sumber daya manusia dalam hal ini adalah dosen yang menjadi salah satu komponen esensial dalam sebuah sistem pendidikan dalam perguruan tinggi. Keberadaan dosen sebagai pilar penunjang proses pendidikan memiliki problematika tersendiri,dimana jumlah dosen bergelar doktor di Indonesia masih sangat minim.

Terdapat beberapa faktor internal maupun eksternal yang kerap mempengaruhi kesadaran dosen untuk meningkatkan mutu sekaligus karirnya . Salah satunya adalah faktor sikap, dimana sikap adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap yang terdapat pada diri individu inilah yang memberikan warna dan corak tingkah laku individu yang bersangkutan. Rasa ketidaksanggupan untuk bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala resiko kerap menjadi persoalan dalam pengambilan keputusan. Begitupun diikuti oleh faktor minat dan motivasi. dalam hal ini ketika seorang dosen memutuskan untuk melanjutkan studi doktoral diperlukan rasa yang lebih dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas atas dasar kesadaran sendiri. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antar diri sendiri dengan sesuatu diluar diri. Semakin kuat hubungan tersebut maka semakin besar minat yang muncul pada diri seseorang. Terdapat faktor-faktor dasar terciptanya sebuah minat yaitu dorongan dari dalam diri yang bersifat sosial dan emosional, sehingga hal ini akan terhubung pula dengan motivasi sosial untuk  mendapatkan pengakuan sekaligus penghargaan dari lingkungan masyarakat khususnya di dunia akademisi. Namun di sisi lain terdapat pula faktor eksternal yang dapat mempengaruhinya salah satunya hambatan-hambatan birokrasi dan kebijakan lembaga yang cukup membuat dosen enggan.

Namun hal ini perlu menjadi perhatian dan kesadaran para akademisi, dimana lemahnya kualitas sumber daya manusia di pendidikan tinggi menjadi indikasi lemahnya kualitas pendidikan tinggi kita karena antara lain kurangnya kualifikasi dosen lulusan doktor. Satu sisi, pemerintah telah berupaya menghimbau kekurangan tenaga doktor di perguruan tinggi Indonesia lewat beragam beasiswa yang ditawarkan untuk membantu menunjang pendidikan lanjut,namun sayang kesempatan emas tersebut kurang dapat dimanfaatkan oleh banyak dosen dengan berbagai alasan. Memaksimalkan pendidikan hingga mendapat gelar doktor tentu penting bagi seorang akademisi,sebab perlu diakui mengenyam pendidikan hingga strata 3 akan memperdalam pemahaman mengenai suatu bidang keilmuan dengan cara yang filosofis(mengakar). Begitupun dari sisi karir, gelar doktor dapat membuka jalan untuk meraih jabatan Guru Besar yang mana jabatan ini adalah jabatan tertinggi pada sebuah institusi pendidikan yang juga akan berpengaruh pada akreditasi sebuah perguruan tinggi.

Kesadaran akan urgensitas dosen melanjutkan studi doktoral juga perlu menjadi kesadaran perguruan tinggi untuk penataan sistem dan karir Sumber Daya Manusianya. Adapun yang menjadi penekanan utama adalah memperkuat dan memperbaiki kualitas dosen agar menjadi unggul dan kreatif serta tersedianya ruang untuk mengaktualisasikan potensi secara maksimal.

(Penulis, Shulbi Muthi Sabila Salayan Putri – Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UWM)

KULTUR BARU, ANAK MUDA DAN SEHELAI KAIN NUSANTARA

Menjadi diri sendiri di setiap masa memang memiliki kerumitannya sendiri. Saat ini mungkin kita menghadapi tantangan bahwa setiap orang bisa memberikan komentar terhadap apapun yang kita lakukan kapanpun dan dimanapun. Mulai dari pakaian yang kita gunakan, rutinitas harian, hingga opini pribadi yang kita bagikan di internet. Sosial media menjadi salah satu medium untuk mengungkapkan citra diri kita adalah dengan pakaian yang kita kenakan. Barang-barang yang kita gunakan sehari-hari pada dasarnya bisa menjadi cerminan individu seperti apa diri kita yang ingin ditunjukan di mata publik.

Hootsuite dan We Are Social menerbitkan laporan “Digital 2022 April Global Statshot Report”. Laporan ini merangkum tren digital dan media sosial terbaru di seluruh dunia, termasuk tentang jumlah pengguna internet saat ini. Menurut laporan itu, jumlah pengguna internet di dunia kini mencapai 5 miliar. Angka ini mewakili 63 persen populasi penduduk dunia yang kini diperkirakan mencapai 7,93 miliar orang. Banyaknya pengguna aktif yang akhirnya membuat masyarakat banyak terhubung tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Berjalannya waktu mengikuti perkembangan zaman, tidak dipungkiri batik sudah mulai ditinggalkan secara perlahan dan hal ini menjadi sebuah ancaman bagi bangsa Indonesia. Pasalnya banyak negara yang tertarik dengan warisan ini, bahkan mengakui bahwa batik adalah peninggalan negara mereka.  Sebagai generasi muda yang telah diamanahkan untuk menjaga kelestarian budaya bangsa,  mulai tumbuh rasa sadar untuk kembali menyerukan semangat berkain bersama.

 Semangat ini digerakan bersamaan dengan berkembangnya dunia fashion dan media sosial. Tidak bisa dipungkiri kini dengan adanya media sosial, gaya berpakaian semakin beragam, unik, dan meluas, baik untuk pria maupun wanita. Salah satu gaya berpakaian yang ikut mengalami banyak inovasi di Indonesia yaitu menggunakan kain batik. Berbagai kampanye digital tentang pakaian sudah banyak sekali dijalankan dimedia sosial. Kampanye secara digital menjadi salah satu tren baru yang digunakan pihak untuk mempersuasi audiens yang lebih luas.

Fenomena kampanye digital tersebut sejalan dengan perkembangan teknologi digital dan internet yang menghasilkan berbagai aplikasi, misalnya media sosial yang bisa diakses dengan mudah, bebas, dan cepat. Hal ini berdampak besar bagi generasi muda, terutama Generasi Z yang merupakan digital native. Sejak kecil Generasi Z mengalami globalisasi, digitalisasi, dan keragaman budaya. Banyaknya informasi yang mudah diakses saat ini membuat generasi muda lebih suka menikmati dan menemukan sesuatu yang baru dan instan melalui media sosial. Pada akhirnya, banyak anak muda yang lebih tertarik dengan  produk budaya asing yang ditawarkan melalui platform di media sosial daripada produk budaya lokal.

Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan McKinsey di enam negara di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Generasi Z cenderung lebih menyukai merek yang populer dan mudah dikenali. Melihat fenomena tersebut, perlu adanya transfer atau sosialisasi tentang warisan budaya lokal kepada Generasi Z melalui kampanye digital di media sosial. Ini juga sebagai upaya melestarikan budaya bangsa.

Salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan adalah kain tradisional nusantara atau wastra. Dikutip dari CNN Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan bahwa terdapat beberapa jenis kain tradisional yang terancam punah dan perlu diselamatkan. Dengan ini, pemerintah mendorong segala upaya dalam melindungi dan melestarikan kain tradisional.  Salah satu komunitas yang aktif melakukan upaya tersebut adalah Swara Gembira, dengan kampanye di media sosia yang bertajuk #BerkainGembira. Kampanye ini merupakan sebuah gerakan dalam memperkenalkan sekaligus mengajak generasi muda untuk mengenakan kain tradisional. Hal ini tentu dapat membangun kesadaran Generasi Z terhadap produk lokal dan Kain-kain Nusantara.

Wastra atau kain tradisional Indonesia kerap diidentikan oleh generasi muda sabagai hal yang kuno, lawas, dan formal. Remaja Nusantara pun hadir mematahkan anggapan tersebut, dengan membawanya menjadi gaya berbusana yang kekinian bahkan ramah dipakai sehari-hari. Berkain bisa mengangkat dan merangkul budaya lama untuk hadir kembali di era modern saat ini. Terdapat berbagai cara dalam menggunakan kain yang dapat disesuaikan dan dipadupadankan sesuai dengan selera fashion masing-masing individu

Swara Gembira lahir dari kecintaan sekaligus keresahan para pendirinya terhadap perkembangan seni budaya Indonesia yang kurang relevan terhadap generasi muda. Pada tahun 2018 Swara Gembira melihat budaya berkain masih dianggap tabu di kalangan generasi muda. Kemudian dibuatlah kampanye #BerkainGembira bersama Remaja Nusantara, yaitu produk turunan dari Swara Gembira yang diunggah melalui Youtube, kemudian dilanjutkan ke Instagram dan TikTok. Konten ini membuat kampanye #BerkainGembira viral dan saat ini tagar #BerkainGembira sudah mencapai 44 juta tayangan di TikTok.

Pesan yang dikemas dengan nuansa menghibur dan informasi, disajikan melalui beberapa rubrik konten seperti Padu Padan Wastra (konten tutorial

mix and match busana dengan kain tradisional), Rombak Gaya (melakukan make over gaya busana seorang figure dengan kain tradisional), Adu Gaya antar audiens. Sementara, melalui Discord dilakukan dengan membentuk forum diskusi. Forum tersebut terdiri dari berbagai jenis sub forum di antaranya: kategori fesyen, terdiri dari “pake-apa-hari-ini” dan “kainpedia”, kategori rekomendasi, terdiri dari “inspirasi-busana”, “toko-kain”, selain itu ada juga “pasar-wastra”, dan forum obrolan bebas.

Komunikasi dua tahap dalam kampanye #BerkainGembira adalah tim Swara Gembira membuat konten kampanye yang berkolaborasi dengan public figure dan influencer, di tahap ini terjadi transfer informasi tentang kampanye #BerkainGembira kepada public figure dan influencer sebagai opinion leaders. Kedua, public figure dan influencer sebagai opinion leaders melakukan transfer atau meneruskan informasi mengenai kampanye #BerkainGembira kepada para pengikutnya atau penggemarnya.

Dalam pelaksanaan kampanye digital #BerkainGembira, Swara Gembira berkolaborasi dengan beberapa public figure dan influencer dari kalangan generasi Y dan Z. Para public figure dan influencer dengan masing-masing ciri khas style berbusana ini banyak dilibatkan dalam rubrik konten Rombak Gaya.  Hasil rombak gaya ini nantinya adalah tampilan baru dengan berkain tetapi tanpa menghilangkan identitas atau ciri khas style dari public figure dan influencer tersebut. Ini adalah salah satu strategi dalam memperlihatkan kepada generasi Z bahwa seseorang dengan style yang seperti apapun, baik itu vintage, eksentrik, dan lain sebagainya bisa tetap terlihat cocok dipadupadankan dengan kain tradisional (wastra).

Pengembangan strategi kampanye digital melalui konten media sosial seperti “Adi Gaya Indonesia” hal ini dilakukan agar berkain tidak hanya berskala nasional tetapi bisa berkembang ke level internasional. Swara Gembira juga melakukan pengembangan strategi dengan membuat tagar baru yaitu, #IndonesiaBerkain sebagai bentuk refreshment dan diversifikasi tagar dalam kampanye #BerkainGembira. Melalui tagar ini diharapkan skala dari kampanye digital ini bisa semakin luas dan gerakan kampanyenya bisa lebih masif lagi.

Seiring berkembangnya zaman, teknologi semakin berkembang pesat dan lebih modern, termasuk pula dalam pembuatan kain nusantara, dan semakin banyak lahir motif-motif baru diberbagai daerah yang menunjukan ciri- ciri khas dan makna dari daerah tersebut. Beberapa motif yang dulunya hanya khusus dipakai oleh bangsawan pun sekarang bisa dipakai oleh masyarakat umum.

(Penulis, Aulia Azizah – Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UWM)

Kusmingki

Bonus Demografi Dan Intelektual: Inovasi Mewujudkan Visi Indonesia Di Tahun 2045

Generarasi milenial dan Generasi z, harusnya perlu menyadari bahwa saat ini kekuatan ekonomi dunia sudah mulai mengalami pergeseran. Dimana selama ini kekuatan ekonomi dunia berada di belahan benua eropa, kini secara perlahan-lahan bergeser menuju ke belahan timur, yakni beberapa negara bagian asia (terutama bagian asia timur dan asia tenggara). Pertumbuhan ekonomi di negara-negara asia mulai menjadi perhatian dunia internasional, perhatian itu mereka tujukan melalui keberanian para pemilik modal untuk melakukan investasi besar-beseran di negara-negara asia.

Seperti yang diketahui melalui data yang disampaikan oleh United Nations Conference On Trade And Development (UNCTAD), melalui World Investment Report 2019. Aliran investasi langsung asing (FDI) yang masuk ke negara-negara berkembang mengalami kenaikan 3,9 persen atau US$512 miliar dari tahun sebelumnya, dalam hal ini negara-negara asia masih merupakan penerima aliran FDI terbesar dunia saat ini.

Sebagai sebuah negara yang memiliki kekuatan sumber daya yang melimpah, memiliki sistem politik bebas aktif, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar ke 4 di dunia yakni dengan jumlah populasi mencapai 273.52361 jiwa menurut laporan worldometer.info, serta merupakan negara yang memiliki sistem demokrasi yang cukup stabil, hal tersebut dapat menjadi peluang yang baik untuk melakukan inovasi Indonesia menjadi negara maju kedepannya.

Tetapi pertanyaannya apakah negara Indonesia mampu mencapai kejayaannya di tahun 2045 dengan bonus demografi yang akan mengalami masa puncaknya pada tahun 2030-2045 mendatang? Untuk itu Indonesia perlu menjadikan negara-negara yang telah berhasil menjadikan peluang bonus demografi sebagai tolak ukur atau strategi untuk memanfaatkan peluang tersebut demi mencapai keberhasilan pembangunan nasional, seperti yang dilakukan oleh negara-nagara berikut diantaranya negara Jepang, Korea Selatan dan negara china pada tahun 1990an.

Pernyataan yang pasti! sebagai negara yang tergolong baru melakukan industrialisasi di berbagai sendi kehidupan untuk mempermudah bentuk-bentuk interaksi atau aktivitas produktif masyarakatnya, Indonesia tidak boleh secara terus-menerus menjadi negara konsumen terhadap negara-negara lainya. Indonesia perlu menjadi tuan rumah bagi warga negaranya, Indonesia perlu menjadi produsen aktif bagi negara-negara pesaing lainnya.

Nilai kompetisi masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan dan masyarakat tidak boleh digeserkan perannya oleh teknologi secara radikal tetapi menyatu melakukan kolaborasi untuk menghasilkan nilai lebih. Untuk memahami lebih jauh bagaimana bonus demografi, kekuatan inteletual dan inovasi untuk mewujudkan visi 2045 negara Indonesia, silahkan disimak bahasan dibawah ini.

Bonus Demografi Indonesia 2030-2040

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kesempatan untuk menghadapi tantangan bonus demografi pada tahun 2030-2040 mendatang. Bonus demografi dapat dikatakan sebagai sebuah harapan kekuatan baru, dan sumber daya pembangunan baru, oleh sebuah negara yang mampu mengelolanya dengan baik, tetapi sekaligus merupakan sebuah ancaman serius bagi negara yang tidak mampu mengelolanya dengan baik.

Pada dasarnya bonus demografi merupakan kondisi dimana sebuah negara mengalami kelebihan populasi penduduk dengan presentase usia produktif lebih besar dibandingkan dengan usia tidak produktif dalam jangka waktu tertentu dan dapat membawa keuntungan bagi sebuah negara sekaligus ancaman. Untuk Indonesia sendiri bonus demografi dapat dimaknai sebagai sebuah harapan baru untuk menjadi negara maju.

Seperti yang disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, tepat pada tahun 2030-2040 merupakan momentum bagi Indonesia untuk menerima hadiah bonus demografi, dengan jumlah populasi penduduk usia produktif 15-64 tahun lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk usia tidak produktif 15 tahun kebawah dan 64 tahun keatas. Faktor berupa produktivitas masyarkat merupakan penentu peningkatan standar hidup, turunya angka kesenjangan sosial, peningkatan pelayanan publik dan peningkatan perekonomian, merupakan bentuk keberhasilan bonus demografi dimanfaatkan oleh negara.

Intelektual Bangsa Indonesia

Menjadikan bonus demografi sebagai momentum untuk melakukan pembangunan sebuah negara secara besar-besaran, tentu merupakan keharusan untuk dilakukan oleh negara. Sebab semakin tingginya angka populasi penduduk dan semakin berkembangan isu global di tengah masyarakat, tuntutan akan kualitas, percepatan dan kemudahan akses layanan publik akan semakin kompleks. Negara tidak lagi hanya dihadapkan pada persoalan yang mendasar saja tetapi akan lebih daripada hal tersebut.

Untuk itu, dalam mewujudkan negara menjadi sebuah negara yang Adidaya, dan Makmur dalam segala bentuk sistem baik politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Indonesia memerlukan kekuatan intelektual bangsa, sebab untuk menghasilkan pelayanan yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat, negara harus hadir dengan sistem yang modern, visioner, agile, efektif, efisien, dan akuntabel.

Seperti sebuah kisah nyata dari buku karangan William Kamkwamba dan Bryan Mealer dengan judul “The Boy Who Harnessed The Wind”. Kisah tersebut menceritakan bagaimana seorang pemuda yang berasal dari keluarga petani Tembakau di sebuah kota bernama Malawi, Negara Afrika bagian Selatan, mampu mengelola kekuatan intelektualnya menjadi sebuah alat yang dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi di kotanya.

Kota Malawi merupakan sebuah kota kecil di negara Afrika bagian Selatan. Kota Malawi mengalami kondisi krisis lingkungan, pohon-pohon yang ada dikota tersebut telah habis di tebang. Sehingga ketika terjadi musim hujan berkepanjangan tiba, para petani Tembakau mengalami kegagalan panen, demikian juga ketika musim kemarau Panjang tiba, masyarakat yang mayoritas petani Tembakau kesulitan untuk melakukan pembukaan lahan karena kondisi yang kering membuat Tembakau tidak memungkinkan untuk ditanam pada lahan yang tandus tersebut.

Melihat masalah kekeringan yang dialami oleh kota Malawi, sehingga membuat masyarakat di kotanya tersebut tidak dapat menaman tembakau, seorang pemuda bernama Maxwell Simba, anak dari seorang petani tembakau, nememukan sebuah ide untuk membangun sebuah kincir angin untuk memopa air dari dalam tanah yang selanjutnya dialirkan ke lahan para petani, agar pengarian di lahan petani dapat membuat mereka mampu nenamam tembakau Kembali. Dari jerih payahnya, Maxwell Simba mampu menjadi pahlawan bagi kotanya, masyarakat akhirnya dapat menikmati air dari kincir angin yang dibuatnya.

Kisah tersebut merupakan sebagian dari banyaknya kisah-kisah nyata lainya tentang bagaimana dahsyatnya kekuatan intelektual mampu membangun sebuah pradaban yang maju. Negara Indonesia juga memiliki banyak kaum-kaum intelektual yang memungkinkan dapat dijadikan senjata untuk membangun Indonesia menjadi negara maju. Indonesia sudah memiliki ribuan diasporanya di luar negeri, yang jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik dapat menguntungkan Indonesia.

Intelektual-intelektual yang dimiliki oleh sebuah negara, dapat menjadikan negara tersebut menjadi maju. Peristiwa itu dapat dilihat misalnya dari negara-negara yang memiliki keterbatasan sumber daya sperti dikutip dari  idntimes.com, misalnya Singapura kekurangan air bersih sehingga harus impor dari negara tentangganya, Jepang, Islandia, Belanda, dan Jerman, mereka merupakan negara-negara yang memiliki keterbatasan sumber daya alam tetapi mereka memiliki kekuatan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu memanfaatkan sesuatu yang berukuran kecil menjadi bernilai besar. Artinya adalah sangat penting bagi sebuah negara memiliki intelektual-intelektual yang mampu membawa perubahan kemajuan bagi negaranya.

Bonus Demografi, Intelektual Dan Inovasi: Menjadikan Tantangan Sebagai Peluang Menuju Kemanfaatan

Visi Indonesia maju 2045 mungkin tidak akan tercapai jika Indonesia tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai, jikapun Indonesia memiliki banyak diaspora di luar negeri saat ini namun tetap miskin inovasi, visi tersebut tidak akan tercapai. Lalu apa kuncinya? Bonus demografi harus dilakukan pembangunan sumber daya manusianya tanpa meninggalkan penunjang infrastruktur lainya, dalam hal ini Indonesia memerlukan telenta-talenta pembangun dari diaspora yang dimiliki bangsa. Selanjutnya untuk mendukung percepatan perubahan itu, negara perlu melakukan inovasi sektor publik, agar negara tidak bergerak diam ditempatnya.

Inovasi pada dasarnya merupakan kemunculan sebuah ide yang dibarangi dengan praktek untuk memunculkan perubahan yang baru atau sebuah perjalanan adopsi untuk menciptakan perubahan. Rogers dalam Oldenburg (2008) misalnya menyampaikan bahwa inovasi adalah sebuah ide, praktek yang mampu menghasilkan temuan baru oleh seorang individu atau suatu kelompok dalam mengadopsi suatu yang baru untuk menciptakan perubahan. Inovasi tidak akan berhasil jika ia tidak dilakukan dengan komponen seperti relative advantege, compatibility, coplexcity, triability dan observability.

Berikutnya keterkaitan antara bonus demografi, intelektual dan inovasi untuk visi Indonesia 2045. Indonesia perlu menggagas sebuah regulasi untuk melakukan inovasi sektor publik. Pandemi COVID-19 seperti saat ini, pada dasarnya dapat dijadikan momentum untuk melihat bagaimana kekurangan yang dimiliki oleh Indonesia dijadikan sebagai landasan berpikir pemerintah untuk melakukan inovasi sektor publik.

Melihat perlambatan pelayanan sektor publik hingga sektor bisnis akibat dari kegagapan hingga ketidakcukupan alat untuk menunjang percepatan pelayanan publik dari pemerintahan, akibat dari proses disrupsi yang terjadi tanpa aba-aba Indonesia dapat dikatakan belum siap menggelola bonus demografi jika tidak segera melakukan inovasi. Indonesia memang sudah memiliki setidaknya sebuah regulasi yang memungkinkan dapat membawa angin segar bari pembahruan inovasi kedepannya.

Regulasi itu merupakan undang-undang nomor 11 tahun 2019 tentang sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimana ia merupakan awal dari kemunculan program integrasi ekosistem riset dan inovasi, Indonesia satu data, satu peta, aplikasi pengaduan cepat (LAPOR) dan lembaga-lembaga pembiayaan dibidang Pendidikan dan ilmu pengetahuan, seperti LPDP, LIPI dan dana ABDI Pendidikan. Tetapi dalam satu ruang yang sama Indonesia juga masih memiliki berbagai macam persoalan yang berkaitan dengan kemudahan akses layanan Kesehatan, Pendidikan, infomasi yang cepat, sistem hukum yang berkeadilan, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Indonesia belum mampu menghadirkan keadilan yang merata, kesenjangan antara kota dengan desa masih sangat tinggi. Untuk memperbaiki kondisi yang demikian, Indonesia membutuhkan mobilisai yang merata dengan menyediakan layanan yang berkualitas. Misalnya Indonesia yang saat ini sudah ingin menginjak usia ke 76 tetapi persoalan integrasi regulasi antara daerah dan pusat serta kemerlutan satu data, masih menjadi persoalan yang serius. Mengapa kondisi seperti ini terjadi? Sebab negara Indonesia masih ketinggalan ilmu pengetahuan dibidang riset dan teknologi.

Ilmu pengetahuan, riset, inovasi dan teknologi sangat diperlukan Indonesia untuk menjadi negara maju. Menjadi negara yang menyepakati untuk masuk dilingkungan global, masyarakat perlu terbiasa melihat kondisi pasar dan untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat perlu berkolaborasi dengan teknologi. Bagaimana melakukannya? Pemerintah saat ini mendorong pembangunan di sektor teknologi sebab membangun ekonomi negara untuk menjadikannya besar, negara membutuhkan yang dinamakan dengan sistem ekonomi berbasis pengetahuan.

Pemerintah bersama masyarakat dan dunia usaha harus berkolaborasi membentuk tata kelola yang kuat, menjadikan teknologi sebagai media untuk mengubah negara bukan untuk menggeserkan peran manusia dengan teknologi itu sendiri, dalam kondisi seperti inilah kolaborasi itu diperlukan. Kolaborasi manusia dengan teknologi yang dimaksudkan adalah dimana pemerintah menyediakan ruang publik untuk mengumpulkan berbagai macam talenta yang dimiliki oleh masyarakat dengan kompleksitas ilmu pengetahuannya, menghasilkan sebuah karya yang dapat dinikmati oleh dunia, yang mana nantinya menghasilkan income untuk Indonesia itu sendiri.

Indonesia harus optimis mampu meraih kemajuan di usianya yang ke 100 di tahun 2045 mendatang. Indonesia memiliki kebudayaan dan pengetahuan lokal yang dapat memberikan nilai lebih di pasar internasional. Jika itu didukung oleh pemerintahan yang kuat, ditambah lagi dengan diaspora-diaspora yang dimiliki oleh Indonesia. Negara Indonesia pasti mampu menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi dan merebut posisi kelima atau keempat sebagai negara maju di dunia di tahun 2045. Bonus demografi dan intelektual yang dimiliki oleh bangsa dapat dijadikan sebagai tantangan untuk menjemput keberhasilan pembangunan nasional.

Referensi:

UNCTAD. 2019. World Investment Report 2019. https://unctad.org/webflyer/world-investment-report-2019

Oldenburg, B., & Glanz, K. 2008. Diffusion of innovations. Health behavior and health education: Theory, research, and practice, 4, 313-333.

Martens, A. (2011). The Boy Who Harnessed The Wind. Literacy Learning: The Middle Years, 19(2), 44-46.

(Penulis, Kusmingki – Mahasiswa Prodi Administrasi Publik UWM Angkatan 2018)

HANTU-HANTU DIGITAL

Selama ini entitas hantu ataupun makhluk halus selalu dicitrakan negatif oleh mayoritas media massa. Ada beberapa faktor yang dianggap menjadi penyumbang pelanggengan imej negatif para hantu, yakni soal selera pasar, kemampuan para kreator dan medianya, serta kebijakan pemerintah terkait pencitraan sosok makhluk halus di media. Jika kita perhatikan dari perjalanan pengisahan hantu di Indonesia telah banyak mengalami perubahan lika-liku yang berpola.

Namun ada sebuah benang merah yang menjadi urgensi, yakni soal penggambaran sosok hantu itu sendiri. Baik di media televisi maupun film, sosok hantu sering kali ditampilkan sebagai peran antagonis yang memiliki sifat jahat dan buruk. Sebab hantu atau makhluk halus selalu dipersepsikan sebagai “pengganggu” yang lekat sebagai hal negatif. Segala hal yang berhubungan dengan hantu dan makhluk halus pun pada akhirnya dicap sebagai hal menyimpang, seperti contohnya jika ada beberapa manusia yang memiliki kemampuan yang terkait dengan ilmu-ilmu gaib pun malah dianggap sebagai magis, klenik, kafir, dan salah. Bila direfleksikan, memang ketidakmampuan manusialah yang justru menjadikan pemaknaan atas dunianya menjadi sempit. Sehingga hal-hal semacam hantu atupun makhluk halus ini dipahami sebagai persoalan yang irasional dan tidak logis.

Ada sebuah problematika besar dalam tayangan mistik yang selama ini dilanggengkan oleh media massa konvensional, yakni lebih menekankan form ketimbang konten dari mistisnya (van Heeren, 2007). Karena sifatnya masih konvensional, para kreator tayangan horor di televisi malah menekankan padahal teknis seperti kamera inframerah, rekaman suara hingga paranormal yang menjadi mediator antara khalayak dan alam gaib, tayangan-tayangan tersebut berupaya untuk membuat penonton menjadi takjub dengan fenomena gaib yang tampil di layar kaca mereka. Mereka justru luput untuk menarasikan pesan di balik kejadian-kejadian hantu tersebut, atau memang karena adanya batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor di Indonesia.

Adanya media digital yang dianggap sebagai media baru masa kini secara perlahan dan pasti merubah imej hantu ataupun makhluk halus yang sering kali dianggap sebagai “gangguan”, atau dalam Ilmu Komunikasi disebut sebagai “noise”. Media digital pada dasarnya juga merupakan sebuah alat komunikasi yang mampu menyampaikan ide dan gagasan secara massiv. Bedanya adalah ia telah memiliki fitur-fitur interaktivitas yang tidak dimiliki oleh media konvensional.

Tahun 2018 muncul kanalYoutube Jurnalrisa yang menyajikan pengkonstruksian hantu yang dikemas secara “fun” atau menyenangkan dan ceria. Hal ini lantas menjadi sangat kontradiktif dengan imej hantu yang telah dikonstruksikan di media massa konvensional. Jurnalrisa merupakan sebuah kanal Youtube yang ekslusif menayangkan konten vlogger mistik yang dikelola oleh Risa Saraswati dan tim. Jurnalrisa terbilang sangat kreatif dan uniksebabmampumerubahcara-cara lama tentangpengkonstruksianhantu di media massa dengan menggunakan platform Youtube. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh penulis, Jurnalrisa tercatat telah melakukan sekitar 5 metode jurnalisme horror dalam proses peliputan dan penyajian konten mistik di kanalnya, yakni #tanyarisa, #jurnalrisapenelusuran, Jurnal Cerita Misteri, Jurnal Cerita Sejarah, dan Ghost cartour. Jurnalrisa selalu menggunakan praktik mediasi dengan hantu-hantu untuk mengajak mereka berbincang dan bercerita santai – yang secara jelas hal ini menjadi sangat mustahil bila dilakukan di media televisi.

Mereka biasanya mendatangi tempat-tempat seram, kemudian melakukan investigasi dengan para hantu atau makhluk halus di sana untuk bercerita dan membagikan kisahnya. Uniknya, Jurnalrisa secara jelas mendekonstruki sosok hantu sebagai subjek aktif, dan sebagai makhluk hidup. Mereka didekonstruksi sebagai subjek masih memiliki kehidupan, sebab masih memiliki pemikiran, intelektualitas, dan ilmu pengetahuan yang dapat dibagikan kepada manusia.

Mereka mampu merasakan energi dan memiliki emosi, serta memiliki etika dalam bersikap. Merekapun dihadirkan ulang dan diperlihatkan sebagaibagiandarialamataumakhlukhidup yang pada masa kini dijadikan sebagai fenomena kejadian sejarah di masa lampau. Sebagaimana pendapat McLuhan (1964) bahwa kehadiran media digital telah merubah cara berpikir manusia tentang dirinya dan alam semesta. Pemosisisan manusia sebagai konsumenpun berubah dari sebutan audiens (khalayak) menjadi user (pengguna).

Mereka secara bebas berperan sebagai produsen sekaligus konsumen produk budaya. Selama pandemi Covid-19, Jurnalrisa pun terus aktif memproduksi konten horornya dengan mengajak para penontonnya untuk menjadi peliput kisah horor di rumah mereka. Para penonton diminta untuk mengirimkan video hasil liputan mereka, lalu tim Jurnalrisa memanggil sosok hantu di video tersebut dan diajak bercerita di Jurnal Cerita Misteri. Selain itu, adanya pembatasan PPKM juga turut menelurkan ide kreatif Ghost car tour dengan melakukan penelusuran dan mediasi gaib di dalam mobil. Jurnalrisa menganggap bahwa keberadaan hantu ataupun makhluk halus tidaklah melulu negatif dan salah. Mereka perlu dipahami bersama-sama dengan dihadirkan sebagai subjek aktif yang hidup berdampingan dengan kehidupan sosial manusia.

(Penulis, Nur Amala Saputri,S.I.Kom., M.A.)

BURNOUT MENJADI ANCAMAN KESEHATAN MENTAL SAAT WORK FROM HOME

Ada begitu banyak kasus yang berkaitan dengan psikologis manusia saat pandemi Covid-

19 melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Banyaknya orang yang mengalami permasalahan kesehatan mental akibat pandemi Covid-19 bisa dipahami mengingat pandemi Covid-19 merupakan sumber stres baru bagi masyarakat dunia saat ini. Pandemi Covid-

19 juga membuat orang-orang yang dulunya punya mobilitas bekerja yang tinggi kini harus sedikit melambat dengan bantaun akses daring atau biasa dikenal dengan Work From Home (WFH).

Work from home (WFH) menjadi sebuah sistem yang muncul semenjak pandemi muncul. Bekerja di rumah dilakukan agar penularan virus Covid-19 bisa ditekan. Bagi sebagian orang Work  From  Home  (WFH) menjadi  hal  yang  menyenangkan  karena  bisa  lebih  santai  tanpa dikejar-kejar  jam  masuk  kantor.   Namun  di  balik  sebuah  Work  From  Home  (WFH)  dapat membuat seseorang mengalami kesehatan mental yang buruk.

Walaupun waktu dengan keluarga menjadi lebih banyak karena tidak harus bekerja di luar rumah. Padahal ada bahaya yang mengintai sistem kerja ini yaitu Burnout.Banyak orang menganggap Work From Home (WFH) jauh dari kata stres dan kelelahan. Nyatanya pekerja bisa mengalami burnout meski sedang Work From Home (WFH). dilansir dari laman resmi WHO, burnout adalah sindrom yang muncul karena stres selama bekerja. Stres tersebut tidak tertangani secara baik sehingga mengganggu pekerja.

Penyebab  burnout  dapat  berupa kelelahan  selama  Work From  Home  (WFH)  Karena seseorang tidak  bisa  memisahkan  pekerjaan  dengan  kehidupan pribadinya  Menurut  Andrew Schwehm, ahli psikologis klinis, dikutip dari The Muse, banyak orang kesulitan membagi waktu

saat Work From Home (WFH).  Kehidupan kerja dan pribadi yang menjadi satu membuat banyak pekerja kebingungan memisah nya. Terkadang mereka bekerja lebih dari 8 jam karena kesulitan menentukan jam kerja. Kebiasaan ini lambat laun berefek pada tubuh dan pikiran. Burnout akan muncul jika kebiasaan ini tidak teratasi.

Semakin banyak inovasi yang membantu seseorang bekerja agar lebih efektif, namun justru itu membuat seseorang bekerja lebih banyak dan pekerjaan juga akan selalu bertambah sampai seterusnya. Ini mentalitas kerja di abad 21, if you can do more, why not do more? Well, because….di tahun 2021, WHO memasukkan burnout ke dalam klasifikasi penyakit yang bisa berkontribusi terhadap kesehatan mental.

Dilansir dari situs Greatmind.com, Ada tiga dimensi yang mendefinisikan burnout, yaitu:

1. Exhaustion, artinya kelelahan, lemah, kekurangan energi, secara fisik maupun emosional.

2. Cynicism, sempat disebut juga depersonalisasi, yaitu saking capeknya, mulai ada perilaku dan mindset negatif kepada orang lain, gampang kesal, tidak ingin bersosialisasi, dan juga kalau idealisme mulai hilang.

3. Inefficacy,  jadi  produktivitas  atau  pencapaian  yang  menurun,  termasuk  juga  hilangnya kepercayaan diri dalam bekerja.

Mungkin sebagian dari kita pernah mengalami salah satu dari ketiganya. Yang berbahaya adalah saat    ketiganya    terjadi    bersamaan,    dan    dibiarkan    saja,    atau    tidak    ditindaklanjuti. Karena burnout adalah efek jangka panjang dari situasi kerja yang menekan.

Melansir dari Forbes (29/03/2020), ada sebuah tanda-tanda burnout yang dapat dilihat. Pekerja akan kesulitan berkonsentrasi saat bekerja. Mereka juga lebih sulit menangkap informasi yang disampaikan.  Pekerja  cenderung  mengindari  pekerjaan. Tidak  jarang  karyawan  terlambat mengikuti rapat online. Pekerjaan mereka juga sering tertunda atau telat.  Efek burnout selama Work From Home (WFH) juga membuat performa kerja menurun dan bedampak pada kualitas pekerjaan karyawan tidak sebaik biasanya.

(Penulis, Aulia Azizah)

Shulbi Muthi Sabila SP,M.I.Kom

ESENSI “PENGORBANAN” DI HARI RAYA IDUL ADHA DALAM MASA PANDEMI

Tak terasa dua tahun sudah kita merayakan hari Raya Idul Adha dalam kondisi yang masih sangat memprihatinkan. Lonjakan kasus Covid-19 yang masih terus meningkat membuat suasana di tahun ini dipenuhi oleh duka yang mendalam terutama dari keluarga maupun kerabat yang ditinggalkan. Kondisi inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat pasrah dengan apapun kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah, dari mulai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang satu sisi dirasa begitu mencekik sebagian kelompok masyarakat yang perekenomiannya terdampak secara signifikan. Hingga tibalah hari ini, dimana umat muslim dunia merayakan Hari Raya Idul Adha dengan suasana yang berbeda. Protokol kesehatan masih harus dilakukan secara ketat, begitupun saudara kita yang sedang mengerjakan ibadah haji dan umrah di tanah suci, dengan tujuan agar kita semua ummat muslim terlindungi dan terjaga kesehatannya.

Syekh Izzudin Abdussalam berkata:

من سعادتي لزومي لبيتي، وتفرغي لعبادة ربي، والسعيد من لزم بيته، وبكى على خطيئته، واشتغل بطاعة الله

Artinya: Termasuk keberuntunganku adalah dapat berdiam diri di dalam rumahku, dan meluangkan waktu untuk beribadah kepada Tuhan-ku. Orang yang beruntung ialah orang lebih banyak berdiam di dalam rumah, ia menangis karena menyesali dosanya, dan ia menyibukkan diri untuk taat beribadah kepada Allah SWT.

Dari kutipan diatas, kita dapat memetik pesan positif , dimana kita perlu menyadari bahwasannya moment pandemi seperti ini adalah kesempatan kita untuk meluangkan waktu beribadah kepada Tuhan, yang mungkin selama ini kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Begitupun dengan moment Idul Adha saat ini yang mengajarkan kita tentang arti penting sebuah pengorbanan dengan cara mengeluarkan apa yang terbaik dari milik kita untuk disedekahkan. Rasa empati dengan membantu sesama menggambarkan mulianya seseorang yang mau berkorban dengan mengulurkan apapun yang dimilikinya untuk orang lain , termasuk dengan menyembelih hewan-hewan kurban untuk dibagi-bagikan adalah bentuk ketaatan kita menjalankan perintah Allah SWT. Maka dari itu, esensi dari pengorbanan itu sendiri sama halnya dengan membuang jauh tabiat-tabiat buruk, keserakahan, sikap egois, tinggi hati dan lain sebagainya. Seseorang yang mampu melakukan itu maka dirinya menjadi pribadi mulia sebagaimana ciri-ciri orang bertakwa.

Mudah-mudahan dikondisi seperti ini menjadikan kita seorang yang bijaksana, minimal kita tidak egois dengan mementingkan hasrat pribadi. Semoga kita selalu diberikan keselamatan , kesehatan dan umur panjang oleh Allah SWT sehingga kita masih punya waktu untuk segera bertaubat, menyadari segala kesalahan dan dosa-dosa kita. Aamiin Yaa Rabbal Alamin….

(Penulis, Shulbi Muthi Sabila SP,M.I.Kom)

Zalsabila Putri Fildzah

SOLUSI ATAU BUKAN? : BERDIAM DIRI DI RUMAH SAJA

31 Desember 2019, pada saat itu dunia digegerkan dengan munculnya kasus penyebaran Wabah Virus Covid-19 yang dikabarkan bermula dari kota Wuhan Cina. Virus Covid-19 adalah virus yang disebabkan oleh jenis coronavirus baru yaitu Sars-CoV-2.  Dilansir melalui m.liputan6.com menurut laporan Science Alert, pihak WHO sebelumnya menyebut Virus tersebut sebagai penyakit pernapasan akut 2019-nCov. Lalu pihak WHO sepakat mengganti namanya sebagai Virus Covid-19 yang di mana pernamaan tersebut berasal dari Corona Virus Disease. Di mana penyebaran virus ini diduga berasal dari hewan kelelawar atau trenggiling yang terkontak langsung oleh manusia.

Selang beberapa waktu kemudian, laju pertumbuhan virus ini mulai bergerak dengan pesat. Hingga sampai pada tanggal 9 Juni 2020, virus ini akhirnya hinggap juga di Indonesia dan memberikan banyak dampak bagi seluruh masyarakatnya. Semua mengalami perubahan, baik kegiatan aktivitas fisik sehari-hari, kegiatan berinteraksi sosial, hingga sampai ke sektor pendidikan dan perekonomian pun turut andil dalam persoalan tersebut. Maka tak jarang dari mereka yang mengeluh dalam menerima keadaan baru ini, dan konon katanya sangat merugikan mereka.

Berawal dari satu jiwa yang terpapar virus Covid—19, lalu akhirnya bertambah menjadi dua jiwa hingga mulai bermunculan jiwa-jiwa lainnya yang terpapar virus ini. Lonjakkan kasus angka orang yang tertular Virus Covid-19 ini mulai melebihi garis normal. Bahkan tak hanya itu, kenaikkan angka kematianpun turut ikut berpartisipasi setiap harinya. Karena situasi saat itu mulai mencekam, akhirnya seluruh negara yang ada di dunia ini memberlakukan sistem pencegahan virus Covid-19 dengan melakukan sistem Lockdown.

Di mana, aktivitas yang biasanya kita bisa lakukan di luar rumah seperti misalnya, bekerja, belajar, berbelanja, berolah raga dan lain sebagainya. Kini kegiatan tersebut terpaksa harus dibatasi dan bahkan dialihfungsikan dengan melakukan semuanya itu cukup di rumah saja. Tak hanya semua kegiatan di luar baik waktu maupun kapasitas kunjungannya yang wajib dibatasi, melainkan mereka juga wajib menerapkan Protokol Kesehatan atau dapat kita singkat Prokes yang sudah diatur oleh pemerintahan. Dengan minimal memakai masker saat keluar rumah dan melakukan Physical Distancing saat berada disuatu tempat. Hal ini diberlakukan agar dapat meminimalisir resiko penularan Virus Covid-19 ini yang terbilang sangatlah cepat.

Namun hal ini mengandung banyak pro dan kontra bagi dikalangan masyarakat. Pasalnya banyak dari mereka yang mengalami kesulitan. Seperti di bidang sektor ekonomi, banyak dari mereka yang mengeluh soal penurunan dari pemasukkan pendapatan mereka karena waktu dan kapasitasnya dibatasi. Lalu adapun di bidang pendidikan, banyak dari mereka yang mengeluh ketika dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Di mana banyak para siswa yang kesulitan dalam mencerna materi pendidikan dari guru pengajarnya yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti, kurang memadainya fasilitas berupa alat media pembelajaran, kesulitan dalam mengakses pelajaran akibat gangguan sinyal atau kuota yang terbatas, juga tak jarang masih ada juga orang tua atau anak yang tidak mengerti bagaimana cara mengoprasikan medianya.

Tidak hanya dikedua bidang itu saja, adapun dibidang kesehatan yang memang jika dilihat dari kacamata sisi positifnya, himbauan dirumah saja memang terbilang efektif untuk mencegah penularan Virus Covid-19 ini. Namun ternyata di sisi lain, hal ini juga dapat menyebabkan dampak negatif bagi kesehatan kita. Dikutip dari CNN, bahwa terlalu berlama-lama berdiam diri dirumah ternyata mampu mempengaruhi kondisi fisik kesehatan kita seperti, kehilangannya kekuatan otot akibat mengurangnya aktivitas fisik yang pada akhirnya menimbulkan rasa malas untuk bergerak. Ahli Fisiologi Keith Bear mengatakan, “butuh waktu berbulan-bulan untuk membangun kekuatan otot, tetapi hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk menghilangkan kekuatan otot”. (sumber: health.detik.com)

Lalu kondisi Jantung,paru-paru, serta metabolisme tubuh yang melemah. Hal ini diakibatkan kurangnya melakukan aktivitas fisik, serta kurangnya asupan paparan sinar matahari juga yang dapat mempengaruhinya. Akibatnya malah banyak dari kita yang jadi gampang sakit. Karena yang biasanya fisik kita diporsir untuk melakukan banyak kegiatan, tiba-tiba dikendurkan aktivitasya.

Kemudian perubahan bentuk tubuh akibat kurangnya aktivitas fisik. Seperti mengalami kegemukkan karena tidak bisa mengontrol jumlah asupan makanan yang kita konsumsi. Atau disebabkan karena tidak banyak melakukan aktivitas fisik, sedangkan otak dipaksa bekerja secara intens. Terakhir ada juga perubahan pola tidur dan meningkatnya kasus depresi akibat perubahan rutinitas sehari-hari akibat pandemik Covid-19 ini.

 Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan yang cukup matang dalam menghadapi situasi saat ini. Jika kita memfokuskan satu permasalahan saja, itu tidak cukup dalam memerangi semua masalahnya. Yang ada malah akan menimbulkan efek permasalahan yang baru. Virus Covid-19 memang sangat berbahaya bagi kita. Namun, permasalahan diluar itu juga wajib kita atasi. Lalu bagaimana caranya kita dapat menghalau permasalahan yang sedang terjadi saat ini? Apakah menjadi sebuah solusi, jika kita hanya menerapkan sistem berkegiatan cukup di rumah saja, namun diluar itu segala macam masalah justru bertaburan di mana-mana?.

Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya. Dalam mengatasi lonjakkan kasus penyebaran Virus Covid-19 ini, dibutuhkan kerjasama yang tepat baik pemerintah maupun masyarakatnya. Terlebih dahulu dilihat dari kerjasama antar masyarakatnya yaitu dengan menerapkan pola hidup yang sehat seperti berolah raga, berjemur, mengedepankan protokol kesehatan dimanapun dan kapanpun ia berada. Juga usahakan melakukan kegiatan yang positif seperti mengistirahatkan kinerja otak, serta jika ada kegiatan yang mengharuskan ia keluar rumah, pastikan kegiatan tersebut hanya kegiatan yang dianggap penting seperti bekerja, berbelanja, berolah raga dengan mengedepankan protokol kesehatan.

Lalu kerjasama antar anggota pemerintahannya dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi terkait masalah ini kepada masyarakat dengan menghimbau selalu terkait kewajiban menerapkan protokol kesehatan. Kemudian, membiarkan mereka yang berwirausaha untuk melakukan kegiatan perekonomiannya namun dalam catatan lebih membatasi kapasitas pengunjungnya dibandingkan waktunya. Kecuali dalam dunia pariwisata, di mana seharusnya ini yang harus dibatasi baik kapasitas maupun waktu oprasionalnya. Adapun hal yang paling utama dalam mengatasi akar permasalahan ini, yaitu dengan memberikan jaminan pelayanan fasilitas yang mendasar bagi mereka khususnya masyarakat yang tinggal dibawah garis kemiskinan.

Dengan terpenuhnya kebutuhan dasar mereka seperti, pendidikan, kesehatan, dan bahan pangan, maka semua permasalahan yang diluar masalah adanya pandemik ini juga mampu teratasi hingga akarnya. Sehingga, masyarakatpun tidak akan keberatan jika penerapan kebijakan dirumah saja harus ditaati. Karena adanya kerjasama ini, kasus pandemik Covid-19 serta permasalahan sosial lain pun akan segera teratasi dengan kurung waktu yang cepat dan efisien.

(Penulis, Zalsabila Putri Fildzah)