Sosialisasi Pemilih Pemula Pemilu 2024 Tergilas Isu Capres

Dr. Mukhijab, MA

“Bagaimana cara memilih calon-calon dalam pemilu?.“

Pertanyaan lugas dan sederhana itu disampaikan oleh dua calon pemilih pemula dalam sesi Sosialisasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 oleh penulis dan kolega dosen dari Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram (UWM), Yogyakarta.

Penanya dua remaja perempuan yang terdaftar sebagai calon pemilih di dua desa Desa Tuksono, Kec. Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, dan Desa Kapanewon Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Mereka sebagai calon pemilih perdana mengaku awam dan galau menghadapi momentum akbar pesta demokrasi 2024.

“Saya mendengar calon yang dipilih tidak hanya satu ya pak. Bagaimana memilih mereka, seperti apa gambarannya,” kata penanya lagi.

Lontaran pertanyaan itu menjadi isyarat bahwa pemilih pemula memerlukan pengetahuan tentang pemilu, dan karena itu penyelenggara pemilu mendesak untuk sosialisasi.

Lima bulan menjelang pemilu serempak 2024, gebyar pemilu masih didominasi oleh intrik-intrik pencalonan presiden-wakil presiden, menggilas sosialiasi teknis pemilihan di kalangan pemilih pemula. Isu-isu teknis pemilihan sepertinya soal sepele tetapi substansial seperti bagaimana pemilih pemula mendapat informasi lengkap dan terukur soal pemilu lepas perhatian dari stakeholders pesta demokrasi lima tahunan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan apparatus  pelaksana pemilu di bawahnya.

Dari pertanyaan-pertanyaan para peserta sosialisasi, beberapa aspek yang memerlukan penjelasan. Selain jadwal pelaksanaan, deskripsi perihal partai dan calon legislatif (caleg), cara memilih, dan prosedur memilih. Aspek teknik ini terkesan menyederhanakan persoalan pemilu, tetapi kenyataannya dimensi praktis itu menjadi perhatian pemilih pemula melebihi perhatiannya terhadap asas-asas dan aturan pemilu. Mereka fokos bagaimana cara memilih, aturan main pesta politik tidak begitu penting di mata mereka.

Metode sosialisasi pemilu bisa ditempuh secara online dan offline. Desimanasi pemilu secara online menggunakan media sosial (medsos) daring menjadi pilihan logis karena para pemilih pemula hamper seliruhnya mengakses medsos dan media elektronik lain yang berbasis pada internet. Medsos dipadukan dengan media televisi lebih mempertajam sosialisasi.

Dari sosialisasi pemilu di dua desa yang disebut di atas, para pemilih pemula belum fokus untuk mengakses isu-isu pemilu di medsos, media digital, melalui seluler mereka. Selain persoalan politik tidak terlalu menarik generasi Z, alasan yang lebih mendasar soal kapasitas pengetahuan tentang pemilu yang masih minimalis.

Metode offline sebagai bentuk sosialisasi secara konvensional dengan tatap muka. Pengalaman di lapangan menunnjukan, para pemilih pemilu tertarik dengan ornamen-ornamen pemilu yang berwarna dalam bentuk alat peraga. Menurut mereka, penampilan partai dan calegnya, tata cara memilih dengan gambar berwarna terkesan atraktif dan membantu untuk menangkap pesan tentang teknis pemilu.

Sampel kartu pemilih sebagai atribut pemilu yang menarik perhatian para pemilih pemilu. Mereka kaget ketika ditampilkan setiap pemilih harus memegang lima kartu pemilihan, yang terdiri dari calon legislatif kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, calon senator (Dewan Perwakilan Daerah), dan calon presiden-wakil presiden.

“Calon DPR, DPD jumlahnya banyak? Bagaimana saya harus memilih satu dari mereka? Apa memilih partainya boleh atau memilih orangnya, atau partai dan orangnya?,” tanya peserta sosialisasi.

Sebagian besar peserta tidak membayangkan pemilihan calon DPR dan DPD terdapat zonasi sehingga daftar caleg yang dipilih sesuai daerah pemilihan. Pengetahuan ini belum terinstal dalam pemilih pemula.

Desa dan PPS

Ketika proses persiapan sosialisasi, respon desa dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tempat sosialisasi beragam. Dalam proses kerjasama untuk menyelenggarakan kegiatan itu, desa dan PPS A lebih responsif, sebaliknya desa dan PPS B respon lambat (slow respon). Melalui jeda panjang dari awal rencana kerjasama, akhirnya desa B bersedia kerjasama dengan syarat tertentu.

Saat pelaksanaan sosialisasi, desa A melibatkan lurah, PPS dan pengawas, serta jumlah pemilihan pemula peserta sosialisasi pemilu relatif banyak, sementara sosialisasi di desa B melibatkan lurah, dan diikuti segelintir peserta, tanpa kehadiran PPS dan pengawas.

Sosialisasi itu berlangsung dua sesi pada Juli 2024. Para pemilih pemula peserta sosialisasi bersuara senada bahwa mereka belum mendapat kegiatan serupa dari desa dan PPS. Mereka tidak mengetahui apakah desa dan PPS menjadwalkan sosialisasi.

Perangkat dari dua desa menyikapi kondisi tersebut terbelah dua juga. Desa A memandang sosialisasi dari dosen-dosen kampus selayaknya ditindaklanjuti dengan sosialisasi berikutnya oleh PPS dan sosialisasi berbasis pada dusun. Desa B cenderung pasif. Kepala desa mengetahui sosialisasi pemilu tugas PPS, apakah perlu lanjutan sosialisasi, kata kepala desa, bola ada di tangan PPS.

Sikap pasif desa B dikaitkan dengan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki program terstruktur dalam sosialisasi pemilu online. Terdapat kesan, sosialisasi online lebih dari cukup karena para pemilih pemula bisa mengakses melalui perangkat komunikasi pintar yang dimilikinya. Apakah sosialisasi online mengatasi segalanya?

Anggota PPS menyampaikan ke penulis, sosialisasi offline untuk pemilih pemula maupun pemilih lama di dusun-dusun mendesak dilaksanakan karena informasi digital belum tentu sampai ke mereka. Problemnya, tiga petugas PPS terlalu sedikit untuk menjangkau sejumlah dusun. Kalaupun bisa menjangkau semua dukuh, memerlukan waktu dan anggaran yang memadai karena jarak antardusun relatif jauh dan akomodasi untuk peserta sosialisasi diperlukan untuk konsumsi dan uang transport (apabila anggaran PPS memadai).

Tanpa sosialisasi secara menyeluruh, pengetahuan para peserta pemilih pemula dan warga lebih dominan soal capres karena media konvensional, media online dan media sosial lebih banyak mengekspos seputar pencalonan capres, sementara caleg-caleg sangat minim sosialisasi. Inforamsi  soal capres juga mengalahkan informasi tentang teknik pemilihan.

“Ketimpangan informasi” itu menjadi isyarat terdapat problem untuk mencapai proses dan hasil pemilu yang berkualitas.*** Tulisan ini bisa juga dibaca di website Kompas.com

https://regional.kompas.com/read/2023/10/20/14153971/sosialisasi-pemilih-pemula-pemilu-2024-tergilas-isu-capres?page=all

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *