HANTU-HANTU DIGITAL

Selama ini entitas hantu ataupun makhluk halus selalu dicitrakan negatif oleh mayoritas media massa. Ada beberapa faktor yang dianggap menjadi penyumbang pelanggengan imej negatif para hantu, yakni soal selera pasar, kemampuan para kreator dan medianya, serta kebijakan pemerintah terkait pencitraan sosok makhluk halus di media. Jika kita perhatikan dari perjalanan pengisahan hantu di Indonesia telah banyak mengalami perubahan lika-liku yang berpola.

Namun ada sebuah benang merah yang menjadi urgensi, yakni soal penggambaran sosok hantu itu sendiri. Baik di media televisi maupun film, sosok hantu sering kali ditampilkan sebagai peran antagonis yang memiliki sifat jahat dan buruk. Sebab hantu atau makhluk halus selalu dipersepsikan sebagai “pengganggu” yang lekat sebagai hal negatif. Segala hal yang berhubungan dengan hantu dan makhluk halus pun pada akhirnya dicap sebagai hal menyimpang, seperti contohnya jika ada beberapa manusia yang memiliki kemampuan yang terkait dengan ilmu-ilmu gaib pun malah dianggap sebagai magis, klenik, kafir, dan salah. Bila direfleksikan, memang ketidakmampuan manusialah yang justru menjadikan pemaknaan atas dunianya menjadi sempit. Sehingga hal-hal semacam hantu atupun makhluk halus ini dipahami sebagai persoalan yang irasional dan tidak logis.

Ada sebuah problematika besar dalam tayangan mistik yang selama ini dilanggengkan oleh media massa konvensional, yakni lebih menekankan form ketimbang konten dari mistisnya (van Heeren, 2007). Karena sifatnya masih konvensional, para kreator tayangan horor di televisi malah menekankan padahal teknis seperti kamera inframerah, rekaman suara hingga paranormal yang menjadi mediator antara khalayak dan alam gaib, tayangan-tayangan tersebut berupaya untuk membuat penonton menjadi takjub dengan fenomena gaib yang tampil di layar kaca mereka. Mereka justru luput untuk menarasikan pesan di balik kejadian-kejadian hantu tersebut, atau memang karena adanya batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor di Indonesia.

Adanya media digital yang dianggap sebagai media baru masa kini secara perlahan dan pasti merubah imej hantu ataupun makhluk halus yang sering kali dianggap sebagai “gangguan”, atau dalam Ilmu Komunikasi disebut sebagai “noise”. Media digital pada dasarnya juga merupakan sebuah alat komunikasi yang mampu menyampaikan ide dan gagasan secara massiv. Bedanya adalah ia telah memiliki fitur-fitur interaktivitas yang tidak dimiliki oleh media konvensional.

Tahun 2018 muncul kanalYoutube Jurnalrisa yang menyajikan pengkonstruksian hantu yang dikemas secara “fun” atau menyenangkan dan ceria. Hal ini lantas menjadi sangat kontradiktif dengan imej hantu yang telah dikonstruksikan di media massa konvensional. Jurnalrisa merupakan sebuah kanal Youtube yang ekslusif menayangkan konten vlogger mistik yang dikelola oleh Risa Saraswati dan tim. Jurnalrisa terbilang sangat kreatif dan uniksebabmampumerubahcara-cara lama tentangpengkonstruksianhantu di media massa dengan menggunakan platform Youtube. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh penulis, Jurnalrisa tercatat telah melakukan sekitar 5 metode jurnalisme horror dalam proses peliputan dan penyajian konten mistik di kanalnya, yakni #tanyarisa, #jurnalrisapenelusuran, Jurnal Cerita Misteri, Jurnal Cerita Sejarah, dan Ghost cartour. Jurnalrisa selalu menggunakan praktik mediasi dengan hantu-hantu untuk mengajak mereka berbincang dan bercerita santai – yang secara jelas hal ini menjadi sangat mustahil bila dilakukan di media televisi.

Mereka biasanya mendatangi tempat-tempat seram, kemudian melakukan investigasi dengan para hantu atau makhluk halus di sana untuk bercerita dan membagikan kisahnya. Uniknya, Jurnalrisa secara jelas mendekonstruki sosok hantu sebagai subjek aktif, dan sebagai makhluk hidup. Mereka didekonstruksi sebagai subjek masih memiliki kehidupan, sebab masih memiliki pemikiran, intelektualitas, dan ilmu pengetahuan yang dapat dibagikan kepada manusia.

Mereka mampu merasakan energi dan memiliki emosi, serta memiliki etika dalam bersikap. Merekapun dihadirkan ulang dan diperlihatkan sebagaibagiandarialamataumakhlukhidup yang pada masa kini dijadikan sebagai fenomena kejadian sejarah di masa lampau. Sebagaimana pendapat McLuhan (1964) bahwa kehadiran media digital telah merubah cara berpikir manusia tentang dirinya dan alam semesta. Pemosisisan manusia sebagai konsumenpun berubah dari sebutan audiens (khalayak) menjadi user (pengguna).

Mereka secara bebas berperan sebagai produsen sekaligus konsumen produk budaya. Selama pandemi Covid-19, Jurnalrisa pun terus aktif memproduksi konten horornya dengan mengajak para penontonnya untuk menjadi peliput kisah horor di rumah mereka. Para penonton diminta untuk mengirimkan video hasil liputan mereka, lalu tim Jurnalrisa memanggil sosok hantu di video tersebut dan diajak bercerita di Jurnal Cerita Misteri. Selain itu, adanya pembatasan PPKM juga turut menelurkan ide kreatif Ghost car tour dengan melakukan penelusuran dan mediasi gaib di dalam mobil. Jurnalrisa menganggap bahwa keberadaan hantu ataupun makhluk halus tidaklah melulu negatif dan salah. Mereka perlu dipahami bersama-sama dengan dihadirkan sebagai subjek aktif yang hidup berdampingan dengan kehidupan sosial manusia.

(Penulis, Nur Amala Saputri,S.I.Kom., M.A.)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *