Pengamat Sebut Olahraga Setelah Kerja Jadi Ajang Pembuktian Diri

RADAR JOGJA – Ketua Program Studi (Kaprodi) Sosiologi Universitas Widya Mataram Jogjakarta Mukhijab menyebut, fenomena olahraga usai bekerja merupakan kebutuhan menyangkut tren. Hal ini menjadi ajang pembuktian diri, bahwa keikutsertaan seseorang dalam olahraga agar tidak ketinggalan tren.

“Konteksnya untuk menjaga image bahwa orang itu tidak ketinggalan ‘kereta’ dan dia ingin menunjukkan bahwa ada kesamaan selera,” kata Mukhijab kemarin (26/4).

Lulusan Program Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu melanjutkan, fenomena olahraga setelah pulang kerja sebenarnya sudah biasa. Baik di kota maupun desa.

“Komunitas olahraga juga bisa terbentuk karena mengikuti tren. Pada akhirnya terbangun relasi di zaman sekarang,” ujarnya.

Namun pengamat masalah sosial dan politik Universitas Widya Mataram ini menuturkan, fenomena olahraga setelah jam kerja ada plus minusnya. Sisi positifnya yakni aktif dalam komunitas jejaring sosial. “Memadai untuk kepentingan apapun seperti, bisnis, kerja, hingga pendidikan,” bebernya.

Dia mencontohkan antara atasan dan bawahan. Melalui olahraga bersama, akan ada kedekatan yang berdampak pada relsi kuasa. “Akan menjadi privilege,” lontarnya.

Hanya saja, akan muncul persoalan lain jika relasi kuasa antara atasan dan bawahan hubungannya tidak alami. “Akan teknikal, jadi tidak luwes,” sebutnya. (gun/eno)

https://radarjogja.jawapos.com/lifestyle/654582315/pengamat-sebut-olahraga-setelah-kerja-jadi-ajang-pembuktian-diri

Kasus Perkelahian Berujung Dua Orang MD di Klaten, Polisi Buru Manusia Silver

Sosiolog Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM), Dr. Mukhijab MA menjelaskan, ada sebuah filosofi yang dipopulerkan Thomas Hobbes yang cukup kontekstual dengan apa yang terjadi di Klaten itu.

“Manusia adalah serigala bagi serigala lain atau homo homini lupus. Untuk memenuhi hajat atau kepentingannya, siapapun bisa kalap mata,” ucap Mukhijab kepada Tribun Jogja, Kamis (9/5/2024).

Dia mengungkap, setiap manusia bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia mau, termasuk melenyapkan nyawa atau saling membunuh satu sama lain.

Meski motif kasus di Klaten itu belum terkuak, menurut Mukhijab, kejadian brutal itu bisa saja terjadi karena kebutuhan perut.

“Kaum miskin, seperti pengamen, manusia silver, itu pasti menganggap uang Rp 100 sangat berharga karena bisa menyambung hidup esok hari,” jelasnya.

“Kenapa bisa kejam? Ya ketika sumber daya ekonomi sulit didapat, lalu ada sedikit saja uang pemberian, terus ada rival yang ingin merebut, maka itu jadi ancaman untuk kelanjutan hidupnya. Apapun caranya, harus ditempuh untuk mendapatkan apa yang dianggap haknya,” tutur dia lagi.


Menurut dia, pada tragedi tersebut, ada hukum jalanan yang berlaku. Siapa yang kuat di jalanan, dialah yang hidup.

“Negara sebagai raksasa atau leviathan, yang memiliki sumber daya ekonomi dan kuasa mendistribusikan dan mencegah rebutan atau hukum jalanan, seharusnya hadir di tengah kesulitan orang-orang mendapat akses ekonomi,” jelasnya lagi.

Meski demikian, kata Mukhijab, negara menonton kaum miskin jalanan untuk berebut, bahkan berebut sesuap nasi.

Biasanya, negara hadir setelah tragedi terjadi dengan sikap sosialnya, sumbangan duka cita dan sejenisnya.

“Bisa jadi gak cuma tentang kebutuhan perut saja, misalnya rebutan pacar atau gebetan, tersinggung karena dihina, dirundung, tapi aspek demikian, bisa dikendalikan, tidak terbatas pukul atau parang, atau alat lain, kalau perut mereka kenyang. Ketika kenyang, emosi bisa dikendalikan, ketika perut lapar, sulit untuk mengendalikan diri,” tukasnya. (Tribunjogja.com/Drm/Ard)



Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Kasus Perkelahian Berujung Dua Orang MD di Klaten, Polisi Buru Manusia Silver, https://jogja.tribunnews.com/2024/05/10/kasus-perkelahian-berujung-dua-orang-md-di-klaten-polisi-buru-manusia-silver?page=3.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni