IDULFITRI, MOMENTUM UNTUK MEREFLEKSI DIRI

Idulfitri merupakan moment yang sangat sakral bagi Umat Muslim diseluruh duniah. Hari ini adalah moment kemenangan. Kemenangan dari hawa nafsu. Hasil dari berpuasa selama 1 bulan secara penuh, pada hari ini umat muslim dikembalikan lagi menjadi suci, bersih tanpa dosa. Bahkan, terkadang kita mendengar ada yang memberikan analogi seperti bayi yang baru lahir didunia. Hari Idulfitri seluruh Umat Muslim saling memohon maaf atas kesalahan yang pernah mereka lakukan baik disengaja maupun tidak disengaja. Hari ini silaturahmi menjadi moment yang menyenangkan. Saling berkumpul baik itu bersama keluarga ataupun mengunjungi tetangga dan kerabat untuk semakin mempertebal persaudaraan.

Namun, apakah kemudian permohonan maaf akan membuat melupakan kejadian yang menimpanya? Umat Muslim tentu mengenal Wahsyi Bin Harb. Sebelum merdeka, beliau adalah budak dari Jubair Bin Muth’im. Wahyi yang saat itu masih menjadi budak, dijanjikan akan mendapatkan kemerdekaannya jika mampu membunuh paman Nabi Muhammad SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib. Pada Perang Ubud, akhirnya Wahsyi mampu membunuh Hamzah dengan melemparkan lembing yang tepat menembus dadanya. Walaupun paman Nabi meninggal dalam keadaan sahid, namun kesedihan yang mendalam juga dirasakan karena beliau meninggal dalam keadaan tragis.

Setelah Perang Uhud, Wahsyi mendapatkan kemerdekaannya namun tidak mendapatkan kebahagiaan. Beliau kemudian meminta maaf kepada Nabi Muhammad SAW. Pada pertemuannya dengan Rasul, dikatakan bahwa Rasul memaafkan Wahsyi namun beliau tidak mau untuk melihat Wahsyi lagi. Dengan bertemu dan melihat Wahshy, Rasul khawatir akan selalu teringat akan kematian paman yang ia cintai (Abdurrahman, 2020).

Apakah dengan permintaan maaf maka sebuah kasus dapat diselesaikan? Apakah dengan permintaan maaf, maka kasus yang masuk ke dalam peradilan dapat dihentikan? Dalam proses permintaan maaf diperkenankan untuk memberi “syarat”. Seperti yang dilakukan oleh Rasul pada saat Wahsyi meminta maaf. Setelah syarat tersebut telah dipenuhi maka, tidak ada alasan untuk memperpanjang permasalahan. Sebenarnya disadari atau tidak, pada proses permintaan maaf terdapat relasi kuasa didalamnya.

Dalam relasi kuasa terdapat hubungan saling ketergantungan antara pihak yang memegang kekuasaan dan yang menjadi objek kekuasaan (Martin, 98 : 1995). Walaupun saling bergantung, tentunya terdapat ketidakseimbangan hubungan pada kasus ini. Bagi pihak yang mendapatkan vonis bersalah, mereka akan berada diposisi bawah karena muncul rasa kurang nyaman telah membuat sebuah kesalahan. Hal ini tentu akan terus melekat pada diri seorang tersebut, sehingga untuk membuatnya menjadi lebih seimbang tentunya negosiasi dilakukan. Diperlukan diskusi yang mendalam dan tuntas pada proses permohonan maaf agar refleksi dan negosiasi terbentuk dan meningkatkan kesimbangan antara pihak yang memegang kekuasaan dan yang menjadi objek kekuasaan tersebut. Idulfitri tentunya dapat menjadi momentum yang tepat dalam melakukan hal ini. Melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukan selama satu tahun ke belakang. Memberikan syarat baik itu kepada diri sendiri ataupun orang lain pada saat meminta maaf. Bahkan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama kepada diri sendiri pun orang lain juga merupakan syarat yang diberikan dan negosiasi yang dilakukan agar mendapatkan kesimbangan tersebut. Semoga kita selalu menjadi pribadi yang berkembang menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk sesama.

(Penulis, Latifa Zahra, S.I.Kom, M.A-Kaprodi Ilmu Komunikasi)


Daftar Pustaka
Abdurahman, Faisal. 2020. Wahsyi bin Harb, Ia Tebus Dosa Membunuh Hamzah dengan Menghabisi Musailamah Al-Kadzdzab. Diambil dari https://pecihitam.org/wahsyi-bin-harb-ia-tebus-dosa-membunuh-hamzah-dengan-menghabisi-musailamah-al-kadzdzab/ pukul 23:41 WIB
Matin, Roderick. 1995. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta : Rajawali Press

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *