PELEPASAN CALON WISUDAWAN FISIPOL

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mataram / FISIPOL UWM melaksanakan acara pelepasan calon wisudawan dan wisudawati dalam rangka pelaksanaan Wisuda Sarjana Universitas Widya Mataram Periode Ke-59. Kegiatan pelepasan dilaksanakan pada hari Kamis Tanggal 14 Oktober 2021. Kegiatan yang diorganisir oleh para calon wisudawan dan wisudawati ini diselenggarakan di Bale Ayu Resto Yogyakarta dengan tetap mengutamakan Protokol Kesehatan dan dihadiri oleh Rektor UWM, Dekan lingkup universitas, serta dosen dan tendik FISIPOL.
Dalam sambutan yang disampaikan secara umum. Calon wisudawan/wisudawati harus mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan yang sesungguhnya yaitu memasuki persaingan dunia kerja. Keterampilan dan kemampuan berkomunikasi menjadi modal utama untuk terjun di masyarakat.
Lulusan FISIPOL UWM sebanyak 21 orang yang terdiri dari Program Studi Adminstrasi Publik dan Program Studi Sosiologi diharapkan untuk menjalin komunikasi yang baik dan berkontribusi dalam pengembangan almamater. Selain itu lulusan FISIPOL UWM juga harus mampu mengembangkan daya saing di masyarakat dengan karakter moral dan kompetensi yang unggul di bidangnya masing-masing.

-tim liputan-

BESEK

Oleh : SL. Harjanta*

Reza meringis menahan nyeri kakinya saat bersandar di salah satu pilar utama Pendopo Agung, Ndalem Mangkubumen. Sehari sebelumnya, pergelangan kaki pemuda asal Sumenep, Madura itu terkilir saat mengikuti pertandingan final voli dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di kampusnya. Selangkah lagi, tim yang dibelanya merengkuh tropi juara. Namun, dibabak akhir, lawanya bangkit dan berhasil mengkandaskan mimpi juara. Saat pulang ke kos, Reza tak bisa menyembunyikan kegundahan. Bukan hanya soal gengsi dan kesempatan menjadi juara yang lenyap. Tetapi, dia juga terpaksa harus membawa pulang ‘hadiah’ yang tak diinginkan berupa kaki kananya yang kesleo.  Jauh lebih dalam dipikirannya, ada beban besar yang mengganggu dalam beberapa bulan terakhir. Beban besar itu seolah, menindih pundak dan pikirannya saat terjaga maupun dalam tiap mimpinya.

Ndalem Mangkubumen adalah bangunan milik Keraton Yogyakarta yang kini digunakan sebagai kampus Universitas Widya Mataram. Kondisi Ndalem Mangkubumen, sore di pertengahan Agustus itu, sepertinya tahu isi hati Reza yang tengah gundah. Komplek kampus yang bangunannya bergaya antik itu ingin menghibur hati mahasiswa asal Pulau Garam tersebut. Rerimbun pohon sawo kecik yang tumbuh di sekitar Pendopo Agung, masih mempertahankan kesejukan, meski diterpa sinar matahari sore. Nyaris tujuh tahun belajar di kampus ini, Reza sangat nglotok mengenai sejarah bangunan yang berdiri sejak 1874 ini. Bahkan dalam otaknya pun, ada ruang yang khusus menyimpan gambaran kondisi kampus itu secara sangat detail.

Sejenak, ingatan Reza melayang pada beberapa tahun silam. Ketika itu, dia pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta dan kampus ini. Regol atau gapura klasik menyambut siapa pun yang berkunjung ke Ndalem Mangkubumen yang berada di jantung Kota Yogyakarta.  Bangunan ukuran sedang berornamen klasik mengelilingi gedung utama. Persis di mukanya berdiri gagah Pendopo Agung. Berlantai marmer, tertancap pilar jati penyangga atap pendopo. Empat pilar utama dan belasan tiang jadi pendamping. Kini, Pendopo Agung banyak difungsikan sebagai tempat seminar, wisuda, pentas seni budaya ataupun sekedar diskusi santai mahasiswa sembari lesehan. Nyaris seluruh bangunan yang ada memiliki kelir sama. Yakni, hijau kombinasi kuning. Saat masuk lebih dalam kompleks ini, mata Reza dimanjakan lebih banyak lagi bangunan vintage. Ada salah satu ruangan (Bangsal Pringgitan) yang cukup lega. Ruangan ini menyatu dengan bagunan utama (Gedhong Inggil) yang kini difungsikan sebagai rektorat. Belakangan, Reza juga tahu dalam ruangan ini pernah menjadi saksi bertemunya dua pemimpin besar dunia. Yakni Presiden Sukarno dan PM India, Jawaharlal Nehru. Dalam sebuah perjumpaan dengan kawannya yang kuliah di kampus lain, Reza membanggakan tempat dia kuliah tersebut.

”Kampusku ini penuh nilai sejarah. Didirikan HB Sembilan, Bung Karno juga pernah menggunakan salah satu ruangan untuk pertemuan dengan Perdana Menteri India,” ujarnya penuh percaya diri.

Memang dalam perjalannya, Reza tumbuh sebagai mahasiswa yang aktif. Dia kemudian tenggelam dalam dunia aktivis dan gandrung akan bacaan berbagai literatur. Kemampuan organisasi dan intelektual yang diasah dalam dunia aktivis kian matang. Namun sayang, kuliahnya terseok. Ini adalah menjadi tahun terakhir baginya. Jika tidak berhasil lulus, dia terancam kena DO (Drop Out). Jika benar-benar terjadi, maka itu sebuah kegagalan besar dalam hidupnya. Tak hanya itu, jika tidak berhasil membawa pulang ijazah S-1 tentu akan sangat mengecewakan orang tuanya.

”Kau belum balik kos, Za?” sapa Andi yang membuyarkan lamunan Reza.

Kehadiran Andi dan Bernard sejak beberapa menit yang lalu ternyata tidak disadarinya. Sebelumnya, Reza tenggelam dalam kenangan awal-awal masa kuliah hingga memikirkan nasibnya kini yang berada di ujung tanduk. Ya, semenjak ayahnya meninggal setahun lalu, kondisi keuangan keluarga menjadi kacau. Kiriman bulanan untuk biaya hidup di Kota Pelajar tak lancar seperti sebelumnya. Dalam sebuah percakapan melalui telepon, ibunya mengaku sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya kuliah selama di Yogya.

”Ah, kalian. Ngapain juga balik. Tembok kos tak akan bisa mengubah nasibku,” balas Reza.

Di kalangan mahasiswa di kampus ini, Reza, Andi dan Bernard seperti kawan tiga serangkai. Meski beda semester, mereka sama-sama mengambil jurusan sama dan jadi bagian sebuah organisasi yang  dikenal progresif di Yogya.  Andi berasal dari keluarga sederhana asal Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Sedangkan Bernard, berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Sementara itu, Reza berlatar belakang keluarga guru dari Sumenep, Madura.

”Jika memang di-DO, terima saja. Itu pantas dan sudah jadi nasibmu,” celetuk mahasiswa gempal dari arah belakang. 

Seketika, pandangan ketiganya mengarah ke sumber suara itu. Mahasiswa bertubuh gempal itu tak lain adalah Bisman. Sudah sejak lama, Bisman menjadi seteru Reza di dalam maupun di luar kelas. Secara organisasi maupun ideologi kedua mahasiswa ini memang bertentangan. Yang terakhir, mereka saling mengalahkan dalam pertandingan final voli. Tim Bisman, sukses menjungkalkan tim yang diperkuat Reza. Tak hanya itu, cidera kaki yang dialami Reza juga andil dari Bisman. Dalam pertandingan itu, Reza berusaha menyelamatkan bola tipuan yang berasal dari Bisman. Namun sayang, upaya itu tidak berhasil dan bahkan membuat kaki Reza terkilir.

”Jika aku tidak bisa lulus tahun ini, paling enggak tahun depan kita bisa bertanding voli lagi. Masih ada satu kakiku yang belum terkilir,” ucap Reza yang berusaha rileks sembari menahan emosi.

”Udah lah, jangan mikirin pertandingan voli. Urus saja kuliahmu. Jangan sampai voli dan kuliahmu, sama-sama keok!” balas sengit Bisman.

Merasakan situasi makin tidak kondusif, Andi dan Bernard berinisiatif mengajak Reza, menyingkir. Mereka tidak ingin, darah Madura yang mengalir dalam tubuh Reza makin mendidih. Tak hanya jago debat, Reza dikenal sebagai aktivis yang bernyali dalam urusan adu jotos. Sementara itu, selain dikenal borju, Bisman yang berasal dari pulau seberang ini juga termasuk mahasiswa tempramen. Di kalangan mahasiswa dan dosen, nama Bisman juga cukup terkenal. Dia termasuk mahasiswa yang menonjol secara akademik. Berasal dari keluarga berada, maka tak ada kesulitan baginya untuk kuliah di dua kampus sekaligus. Selain di Universitas Widya Mataram, dia juga mengambil jurusan teknik di kampus swasta top di Yogya.

Bagi Reza, sore itu adalah senja yang kelabu. Beban berat kian menindih pundak dan  pikirannya.

***

  Langkah kaki Reza keluar dengan ringan saat meninggalkan ruang sidang. Kondisi ini berbeda dari dua jam sebelumnya. Saat itu, kakinya tak bertenaga, seolah enggan memasuki pintu ruang ‘penghakiman’. Ya, hari itu adalah hari yang dinanti sekaligus dibenci. Beberapa minggu sebelumnya, mahasiswa berperawakan kerempeng ini berjibaku menyelesaikan tugas akhir.   Tugas akhir ini sempat beberapa tahun terbengkalai karena kesibukannya di luar kampus. Upayanya di waktu kritis tidak sia-sia. Dalam ujian pendadaran skripsi, tiga dosen penguji mengaku puas atas hasil penelitiannya. Ketiganya kompak memberikan nilai A. Ganjaran nilai A itu memang pantas didapatkanya. Sebagai mahasiswa pelahap banyak buku dan gemar diskusi, teori yang condong ke kiri maupun landasan pemikiran kapitalisme, dia kuasai dengan baik.  Setelah pendadaran, setidaknya ada dua tahapan lagi sebelum dia berhasil mendapat gelar sarjana. Dua tahapan itu adalah yudisium dan wisuda. Namun, gerbang kelulusan itu terancam sirna jika dia tidak membayar sejumlah biaya di kampusnya. Belum lagi, sejak bulan lalu kiriman uang dari kampung sudah distop. Ibunya yang kini menjadi tulang punggung keluarga, harus membiayai adik-adik Reza yang duduk di bangku SMP dan SMA. Kesuksesan pendadaran skripsi yang baru saja diraihnya seperti tidak berguna.

”Apakah nasibku memang akan keok dan tak berhasil lulus seperti kata Bisman, sialan itu,” ucap Reza dalam hati sambil menerawang langit-langit kosnya.

Tenaga dan pikiran Reza benar-benar terkuras. Namun, matanya tidak bisa terpejam.

”Za…Reza,” panggilan tiba-tiba datang berasal dari balik pintu kos.

Dengan malas, dia bangkit dari kasur tipis yang menemaninya sepanjang tinggal di Yogya. Di balik pintu ada sosok yang sangat dia kenal. Orang itu adalah Andi yang jadi karibnya. Tak biasanya sahabatnya itu datang ke kos. Nyaris tujuh tahun tinggal di Yogya, Andi tak lebih tiga kali menyambanginya di kos. Itu pun jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Pertemuan lebih banyak dilakukan di kampus atau pun sekretariat organisasi, ruang diskusi maupun jalanan saat melakukan aksi demonstrasi.

”Ngapain kau datang kemari, Ndi,” selidiknya.

Andi yang mendapat pertanyaan, tak langsung menjawab. Dia justru langsung duduk sambil mendekap sesuatu di dadanya. Benda itu adalah besek yang kemudian diulurkan pada Reza.

”Za, ini ada titipan dari teman-teman untukmu,” ucap Andi.

”Apa ini. Aku tidak lapar. Kenapa kau membawa makanan,” jawab Reza masih tidak bersemangat.

Besek adalah sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat. Umumnya, benda ini digunakan untuk tempat makanan. Ini pula yang lazim digunakan penjual Gudeg Wijilan yang letaknya tak jauh dari kampus. Bagi yang hendak membawa pulang gudeg ke rumah, biasanya dibungkus menggunakan besek. Hal itu juga yang ada dalam benak Reza, saat karibnya mengulurkan bungkusan berbentuk kotak itu.

”Bukalah,” pinta Andi.

Besek yang dibawa Andi tidak ada  tali pengikat, sehingga dengan mudah dibuka Reza. Alangkah terkejutnya Reza saat penutup besek itu disingkap. Bukan gudeg yang berada di dasar besek, melainkan lembaran uang berwarna merah dan biru.

”Masya Allah. Uang siapa ini?” tanya Reza dengan air muka terkaget.

Andi yang duduk di pojok kamar berkata,”Itu uang gotong-royong dari aku, Bernard dan kawan-kawan yang lain, untuk bantu kamu.”

”Mana mungkin kau dan Bernard punya uang sebanyak ini? Untuk makan saja pas-pasan,” ucap Reza tak percaya.

”Ya, sebagian besar bantuan ini berasal dari Bisman,” jelasnya.

”Hah, apa? Dari Bisman yang angkuh itu,” sergah Reza yang masih tak percaya.

Tak salah jika Reza berpikiran demikian pada Bisman. Dalam interaksinya selama ini, keduanya memang seperti air dengan minyak. Atau bahkan, air dengah api, saling mengalahkan.

”Sudah lah. Selama ini, kita memang tidak benar-benar mengenal Bisman. Menurut teman-teman yang lain, sebenarnya Bisman anak yang baik. Diam-diam, dia juga pengagum tokoh-tokoh pengusung sosialis,” ucap Andi seraya menjelaskan jika selain pada Reza, hasil gotong-royong juga diberikan pada beberapa mahasiswa lain yang memiliki kesulitan ekonomi.  

”Apakah bantuan ke kawan-kawan yang lain juga kau masukkan dalam besek? Kenapa tidak pakai amplop, atau transfer saja,” ucap Reza sambil terkekeh.

”Sejak kapan gaya kau berubah jadi borju? Besek adalah simbol,” jelas Andi.

”Simbol apaan,” kembali Reza menyergah.

”Kau kayaknya benar-benar stres, khawatir kena DO, kawan. Nalar kristismu hilang membaca simbol.  Besek adalah simbol kebersamaan. Bahwa kita senasib,” urai Andi panjang lebar. Kedua sahabat itu kemudian larut dalam obrolan rencana masing-masing setelah lulus kuliah.

*) Pengajar di Universitas Widya Mataram Yogyakarta